Sabtu, 28 Januari 2012

LENTERA HIDUP by Muhammad Asrul Nasution



NAMA BAPAK ITU AMIR
Hari ini cuaca Sidimpuan begitu cerah dan matahari begitu terik seakan – akan ingin membakar seluruh isi kota. Sidimpuan seakan tak punya tempat untuk merasakan semilir angin yang membelai sejuk pundak para penghuni kota, di setiap sudut bahkan jengkal hanya ada aroma debu jalan yang bertebaran meracuni rongga pernafasan manusia. Memang, hidup di kota berkembang dan menuju sebuah provinsi seakan bukanlah pilihan baik bagi yang merindukan suasana desa yang begitu asri dan damai.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, aku mendengar sayup adzan Dzuhur yang menggema mengajak para muslim untuk menunaikan shalat. Lantas, kunyalakan motor matic yang menemaniku selama satu tahun ini menjelajah kota dan kupacu menuju Masjid Raya yang terletak di tengah Sidimpuan. Masjid Raya dikotaku menjadi masjid yang paling besar saat ini, kubah yang berwarna hijau dan halamannya yang luas seakan menjadi tempat primadona para orang tua untuk menikmati sisa hidup yang ingin selalu mendekatkan diri pada Allah. Kusambangi kamar mandi yang terletak disamping masjid dan ternyata masih sepi, hanya ada beberapa orang tua yang sedang sibuk membersihkan dirinya dengan wudhu lalu menuju ke dalam masjid. Aku menuju sebuah kran yang terletak di sudut kamar mandi lalu aku sucikan tubuhku yang penuh debu dan kotoran untuk bersiap menunaikan shalat Dzuhur.
Selepas shalat, aku tak langsung pergi dari masjid, aku duduk di tangga masjid sambil menikmati sejuknya udara di sekitar masjid melihat lalu lalang kendaraan yang jarak pandangnya sekitar 10 meter dari tangga masjid. Aku duduk sendiri dalam kesepian yang begitu membelenggu, tiba – tiba aku dikejutkan oleh tangan yang menepuk pundakku, jantungku seakan terlepas dan darahku berdesir. Aku memang punya masalah dalam jantung, gampang kaget dalam suasana yang rileks. Lantas, aku menoleh ke belakang ternyata seorang pria paruh baya dan berjenggot menyapaku
“sedang apa nak ?” . aku tak langsung membalas sapaannya, kupandangi pria tersebut.
“sepertinya dia adalah seorang pengurus masjid ini” pikirku.
Pria paruh baya tersebut lalu duduk disampingku dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman, aku terima sodoran tangannya.
“Amir” ucapnya memperkenalkan namanya padaku.
“Ikhsan” ujarku sambil memperkenalkan namaku.
“sedang apa nak ?” tanyanya sambil membenarkan letak penutup kepalanya sambil menatapku dalam. Seolah dia ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi pada diriku.
“ah, tidak ada apa – apa pak. Aku hanya ingin duduk saja menikmati romantisme masjid. Sudah lama aku tak berlama – lama di masjid seperti ini” ujarku sambil terus menatap hilir mudik kendaraan yang melintas 10 meter di depanku.
“hmm…bapak lihat tatapan kamu dari tadi seakan kosong, ceritalah pada bapak” pria itu membalas ucapanku seakan dia ingin tahu lebih dalam tentang pikiranku saat ini.
“aku hanya rindu dengan kota ini, sudah 3 tahun aku meninggalkannya ” ujarku sambil melihat pria tersebut sekilas. Pria itu terlihat begitu dewasa dan seolah dia paham dengan segala situasi yang terjadi di sekitarnya.
“selama 3 tahun ini tinggal dimana emang dek ?”, selidiknya lagi.
“kemarin aku kuliah di Bandung, kebetulan sudah selesai studinya pak” jawabku lagi sambil terus memperhatikan hilir mudik kendaraan.
Kota ini semakin hari memang semakin ramai, aku bisa merasakannya dari jumlah kendaraan yang semakin meningkat dan pembangunan yang semakin pesat. Sidimpuan memang direncanakan menjadi sebuah ibukota Provinsi Sumatera Tenggara yang dicita – citakan 5 kepala daerah untuk dimekarkan.
“wah, hebat ya dek bisa sekolah disana. Bapak dulunya pengen sekali lho bisa sekolah di Pulau Jawa. Bapak bercita – cita bisa sekolah di UGM dulu, tapi apa daya orang tua bapak tak mengizinkan. Akhirnya, bapak hanya tamat SMA saja” ucap si bapak dengan penuh keharuan, sepertinya dia sedang mencoba memutar kenangan hidupnya.
“oh iya, sekolah dimana dek di Bandung ? “ Tanya Pak Amir yang membenarkan letak duduknya.
“aku kemarin sekolah di Poltekpos Bandung pak, kebetulan ambil program D-3 disana” ucapku.
“hmm. Bapak belum pernah dengar nama kampus itu, tapi bapak yakin kampus itu mampu menciptakan pemuda seperti kamu” sahut bapak sambil tersenyum.
“ah, bapak bisa saja” balasku sambil tersenyum.
“bapak sudah berapa lama menjadi pengurus masjid ini” tanyaku balik, aku mencoba mengakrabkan diri dengan bapak Amir yang menurutku beliau adalah orang yang enak buat diajak ngobrol.
“bapak sudah hampir 8 tahun disini. Sejak tamat SMA bapak sempat menjadi tukang bangunan di Pekanbaru, Medan dan Sibolga sebelum akhirnya bapak menjadi pengurus masjid seperti yang kamu lihat sekarang ini” ucapnya sambil mencoba mengingat sesuatu.
“bapak dulu sempat jatuh dalam lembah kegelapan sebelum akhirnya bertemu dengan istri di Sibolga. Bapak hidup menjadi pengedar narkoba dan sibuk dalam urusan dunia yang ternyata tak ada manfaatnya sama sekali bapak rasakan, hanya akan menguras kesehatan dan pikiran yang sehat” ucapnya, seolah dia sedang bercerita kepada anak – anaknya yang di malam yang hening dan sunyi. Aku hanya tertegun mendengarkannya.
“nak, bapak sedih saat ini. Bapak dulu sempat jatuh dalam lembah kenistaan, hingga akhirnya Allah menggiring bapak untuk bertemu jalan kebenaran. Bapak ingin berbuat serta menebus segala kesalahan yang bapak perbuat, makanya bapak aktif dalam kepengurusan masjid sebagai salah satu penebusan kesalahan bapak di masa lalu.” Lirihnya.
“saat ini, bapak melihat apa yang menjadi kesalahan bapak pada masa muda terulang lagi kepada pemuda sekarang. Tak kah kamu lihat pemuda sekarang begitu hidup hedon ?, mereka seakan tak mengerti bahwa bumi sedang kesusahan menanggung dosa yang mereka perbuat hingga kelak nanti Allah perintahkan bumi untuk menggoncang mereka dengan goncangan yang sehebat – hebatnya, hingga seorang ibu pun lupa untuk menyusui anaknya dan seorang ayah tak menghiraukan lagi nasib anak dan istrinya. Itulah kiamat anakku, kiamat yang akan menjadi akhir dari segala kehidupan fana”. Bapak itu terus berucap tentang kesusahan hatinya, dia seolah memendam sebuah beban berat yang ingin coba diselesaikannya.
“bapak paham, dunia semakin dipenuhi oleh kepentingan duniawi. Tekanan hidup yang semakin berat menjadi permasalahan tunggal dan menetapkan pemikiran materialistik menjadi pilihan tunggal. Tetapi….” Pak Amir memotong pembicaraannya sejenak, sepertinya dia ingin mencoba mengucapkan sesuatu.
“tetapi apa pak ?” tanyaku penuh penasaran.
“tetapi, kenapa harus hidup materialistik yang menjadi satu – satunya pilihan ?, bukankah agama bisa mendampingi tujuan hidup mereka ??” dia berkata seolah merasa geram dengan kondisi sekarang. Dia seakan – akan ingin berbuat sesuatu yang besar, tapi daya dan upaya membatasi segala keinginannya.
“sabar pak, aku tahu apa yang menjadi beban pikiran bapak dan apa yang menjadi motivasi bapak untuk menuntaskan masalah kepemudaan. Kita tak bisa berbuat secara instan pak, mungkin dengan bapak aktif di kepengurusan masjid akan menjadi sebuah jalan untuk menghimpun pemuda yang mencintai kehidupan yang beragama dan mencintai Allah sepenuh hati dan raga mereka. Bersabarlah pak, ini akan menjadi bagian dari proses menuju kepemudaan yang madani insya Allah” sahutku sambil tersenyum dan mencoba menguatkan hati Bapak Amir.
Aku paham dengan apa yang dirasakan Bapak Amir saat ini, dia ingin mencoba memecahkan segala tembok yang menjadi penghalang pemuda untuk bersatu dengan Islam secara kaffah. Tembok yang menjadi penghalang itu adalah hedonisme yang saat ini membelenggu para pemuda, yang menciptakan rantai besi dan mengikat tubuh mereka seolah tak ada satupun kunci yang mampu membuka gemboknya. Hanya karena semangat seperti Bapak Amir lah yang menjadi kunci untuk membuka gembok rantai yang membelenggu pemuda sekarang.
Pembicaraan antara kami menjadi hening sejenak, angin sejuk di sekitar masjid seolah memberikan kenyamanan buatku untuk semakin betah berlama – lama di tangga masjid. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.28 WIB, tetapi cuaca tak menunjukkan tanda – tanda untuk meredakan sengatannya kepada penduduk kota. Matahari semakin terik dan silau, bagai jilatan api yang menyambar para ibu yang sedang asik memasak dengan kayu bakar di daerah pedalaman sana.
Di dunia ini, banyak hal yang tak kita sadari terjadi begitu saja seolah semua sudah menjadi susunan dan rangkaian kehidupan yang sempurna dan bahkan manusia akibat ketidaksadarannya mengatakan bahwa yang terjadi dalam kehidupan adalah kebetulan belaka. Bagiku, kehidupan yang tersusun secara rapi dan sistematika ini bukanlah sebuah kebetulan, begitupun pertemuanku dengan Bapak Amir yang umurnya lebih tua dariku pun bukan kebetulan. Hingga saat ini, aku memang sedang sibuk mencari teman yang bisa diajak diskusi dan ngobrol tentang kepemudaan di kota Sidimpuan, tetapi alangkah susahnya mencari seorang pemuda diantara ribuan pemuda di kota ini hingga Allah menakdirkanku untuk bertemu seorang tua yang pernah terjerumus dalam lembah kenistaan hingga Allah menjadi penerang dan pembimbing jalannya menuju kebenaran. Ini bukanlah sebuah kebetulan, tapi ini benar – benar dikonsep secara rapi oleh Allah dengan segala pertimbangan – Nya atas ikhtiar hamba – Nya yang bersungguh – sungguh. Subhanallah.
Aku masih sibuk termenung sambil melihat hilir mudik kendaraan, pembicaraan kami sepertinya terhenti setelah kulihat Bapak Amir pun melamun. Entah apa yang ada dipikirannya, mungkin dia sedang memikirkan pemuda zaman ini atau ada sesuatu hal lain yang sedang dipikirkannya Wallahu a’lam.


Nb : Novel ini masih dalam tahap pengembangan, jadi butuh saran & kritiknya dalam hal pengembangan novel ini. Terima kasih.